Learning Loss? Familiar Namun Asing

Gresya Leman
5 min readJul 25, 2021

Apakah kamu familiar dengan istilah ‘Learning Loss’? Frasa ini menjadi semakin popular akhir-akhir ini di kalangan peserta didik baik pada tingkat sekolah dasar, sekolah menengah, bahkan sampai ke tingkat pendidikan tinggi. Pertama kita perlu mengetahui apa definisi dari learning loss itu sendiri. Menurut The Education and Development Forum UKFIET (2020), learning loss adalah kondisi hilangnya pengetahuan dan keterampilan baik umum atau khusus atau kemunduran secara akademis, yang terjadi karena kesenjangan yang berkepanjangan atau ketidakberlangsungannya proses pendidikan kepada peserta didik.

Sebelum kita membahas lebih lanjut, mari kita mundur sedikit ke awal tahun 2020. “Apa yang terjadi di awal tahun 2020?” Pertanyaan sederhana pengaduk emosi. Ya, tepat sekali. Awal dari pandemi global Covid-19. Mengapa hal ini sangat krusial? Setelah penelitian yang dilakukan, didapatkan data bahwa penyakit ini menular melalui droplets yang keluar melalui batuk yang merupakan salah satu dari gejala awal penyakit ini. Sosialisasi mengenai penyakit yang baru ini dilakukan secara besar-besaran oleh WHO beserta himbauan mengenai pembatasan sosial, pemakaian masker, mencuci tangan setidaknya 30 detik, dan masih banyak lagi, termasuk penutupan sekolah sebagai salah satu tempat yang dinilai sangat rawan dalam menyebarkan penyakit ini. Akibatnya, perombakan sistem pendidikan dengan mendadak dan skala besar mau tidak mau harus dilakukan oleh semua instansi pendidikan. Sistem pendidikan diubah menjadi PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) secara tiba-tiba ini mengakibatkan ‘shock’ kepada semua pihak, termasuk pihak pengajar dan kepada peserta didik itu sendiri. Kombinasi antara sistem yang baru dan belum ‘matang’ ini, tenaga pengajar yang belum bisa beradaptasi, dan kondisi internal dan eksternal peserta didik yang kurang mendukung inilah yang mendorong terjadinya learning loss di masa pandemi Covid-19 ini.

Faktor-faktor yang tadi hanyalah faktor pendorong yang memperparah learning loss ini, tapi apa sebenarnya penyebab dari learning loss ini? Menurut The Education and Development Forum UKFIET, terdapat 3 faktor utama yang menyebabkan terjadinya learning loss ini.

1. Penurunan dari tingkat pembelajaran.

Berdasarkan studi dari Northwest Evaluation Association (NWEA) da 2 tipe fenomena learning loss yang sedang banyak terjadi di kalangan peserta didik, tipe pertama adalah ‘melt’ yang mengacu pada kondisi di mana peserta didik tidak berkembang sama sekali selama penutupan sekolah. Sedangkan tipe kedua adalah ‘slide’ yang mengacu pada kondisi peserta didik yang kehilangan ‘arah’ secara akademik dengan laju yang sama dengan ketika libur berkepanjangan.

2. Ketimpangan dalam pendidikan.

Walaupun pendidikan tetap dapat dilakukan dari jarak jauh, namun learning loss ini tidak dapat dihindari akibat penundaan atau penjadwalan ulang beberapa ujian penting yang dapat menyebabkan kesenjangan skill maupun pengetahuan antara orang yang sudah menjalankan tes ini sebelum pandemi dan setelahnya.

3. Pemutusan sekolah.

Akibat pandemi ini, banyak peserta didik yang mempertanyakan ulang motivasinya mengikuti pendidikan itu sendiri. Salah hal yang sering dilakukan adalah dengan tidak hadir di kelas yang seharusnya diikuti atau bahkan putus sekolah dan menjadi pengangguran. Walaupun banyak yang pada akhirnya tetap kembali untuk menyelesaikan pendidikannya, karena mereka lulus di situasi pandemi ini, cukup sulit bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang baik bahkan tidak sedikit yang menjadi pengangguran.

Saya setuju dengan pemaparan di atas, namun seperti yang sudah saya bahas sedikit di atas, menurut saya faktor pendorong yang sudah saya sebutkan di atas memiliki peran yang cukup krusial dalam fenomena learning loss ini. Mari kita bahas satu per satu dimulai dengan sistem yang belum ‘matang’. Tidak bisa dipungkiri bahwa sistem pendidikan di seluruh dunia, secara khususnya Indonesia bukanlah sesuatu yang pernah dipersiapkan untuk mengalami perubahan drastis dalam waktu yang singkat. Paksaan situasi yang ada menghasilkan suatu ‘kurikulum darurat’ yang diadakan sekadar untuk menyelesaikan tahun ajaran yang waktu itu hanya tersisa 3 bulan lagi. Ujian Nasional ‘terakhir’ yang pada akhirnya dibatalkan hanyalah awalnya. Penundaan Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) sebagai syarat dari Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi (SBMPTN) selanjutnya dilakukan. Pengantian sistem UTBK yang ‘kontroversial’ pun dilakukan untuk menanggulangi sistem pendidikan yang kacau saat itu. Transisi dari kegiatan pembelajaran luring menjadi daring menjadi salah satu rintangan yang cukup sulit dilakukan pada waktu itu. Alasannya berhubungan dengan poin kedua dari faktor pendorong ini, yakni tenaga pengajar yang belum bisa beradaptasi. Transisi kegiatan pembelajaran dari luring menjadi daring ini memaksa tenaga pengajar untuk ‘berkontak’ dengan teknologi di berbagai platform yang mungkin belum pernah digunakan sebelumnya, misalnya Zoom meetings, Google Meet, ataupun Microsoft Teams. Adaptasi kebiasaan dan metode baru yang terpaksa dengan kurangnya pengetahuan dan tuntunan bagi tenaga pengajar ini khususnya bagi tenaga pengajar yang sudah berusia lanjut mengakibatkan kebingungan dan tekanan tertentu bagi tenaga pengajar karena ketidakmampuan mereka dalam menyampaikan materi dengan baik dan tepat sasaran bagi peserta didik di situasi online ini. Sering kali usaha dari tenaga didik ini kurang diapresiasi dan malah dikritik ‘tidak jelas’ oleh peserta didik yang sudah hilang motivasi belajarnya. Faktor selanjutnya adalah faktor internal dan eksternal dari peserta didik itu sendiri. Faktor internal dari peserta didik itu sendiri dapat berupa kesehatan fisik dan kesehatan mental dari peserta didik itu sendiri. Seperti yang kita tahu, kesehatan fisik sangatlah penting dalam menunjang kegiatan pembelajaran secara umum (menjadi suatu pertimbangan bahkan sebelum sekolah diubah menjadi online), namun mengapa kesehatan menjadi penting khususnya di masa sekolah daring ini? Seperti yang kita tahu, segala sesuatu dimulai dari niat. Niat tidak bisa dipaksakan, tetapi harus timbul dari diri seseorang dengan sendirinya, Lalu apa hubungannya? Sebagai seseorang yang juga pernah dan masih merupakan peserta didik, salah satu motivasi terbesar saya untuk pergi ke sekolah adalah teman. Rasa seperjuangan yang ada dengan teman-teman di sekolah menjadi salah satu hal yang sangat menghibur secara pribadi karena ‘beban’ akademis itu dirasakan bersama, tidak hanya sendiri. Namun dengan kondisi pembelajaran daring yang dilakukan dari rumah masing-masing membuat peserta didik sulit bertemu dengan temannya dan sangat mungkin menurunkan motivasi belajar dari siswa tersebut. Belum lagi tekanan yang ada dari orang tua yang ‘mengawasi’ gerak gerik selama berada di rumah sangat mungkin untuk menurunkan motivasi belajar dari peserta didik itu sendiri. Selain faktor internal ini, terdapat juga faktor eksternal dari peserta didik itu sendiri, yaitu lingkungan rumahnya. Dengan dilakukannya pembelajaran online ini, tentu saja salah satu resource yang paling dibutuhkan adalah internet. Baik dari segi kuota internet maupun kestabilan jaringan yang harus bisa menunjang kegiatan pembelajaran daring ini sering kali menjadi masalah. Ditambah lagi situasi dan kondisi rumah tangga yang berbeda-beda dan tidak bisa diprediksi juga menjadi salah satu penghambat dalam pembelajaran daring ini.

Lalu apa solusi yang dapat digunakan untuk memperkecil atau bahkan meniadakan learning loss yang terjadi saat ini? Ada 2 strategi untuk mengatasinya, yang pertama adalah optimalisasi pengajaran dan pendukung serta sumber daya pembelajaran. Dan yang ke dua adalah mengimbangi learning loss di sekolah ketika sudah buka lagi. Namun cara yang paling mungkin dilakukan untuk sekarang di Indonesia menimbang pertambahan kasus covid-19 yang menggila adalah cara pertama. Banyak cara dapat dilakukan dalam jalur ini, beberapa di antaranya adalah dengan standarisasi kurikulum baru yang lebih cocok dengan situasi yang ada saat ini, meningkatkan ketertarikan peserta didik pada kelas atau pelajaran yang ada dengan beberapa metode yang mungkin dilakukan, menyediakan alternatif cara belajar yang bisa cocok pada berbagai cara belajar peserta didik, atau dengan melakukan dukungan atau subsidi pada keluarga yang kurang mampu, dapat berupa subsidi kuota yang sudah dilakukan pemerintah Indonesia 2 semester terakhir.

--

--